I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat
sistematis dan sistemis. Dikatakan sistematis karena bahasa memiliki kaidah
atau aturan tertentu. Bahasa bersifat sistematis karena memiliki subsistem
yakni subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Ketiga
subsistem ini bertemu dalam dunia bunyi dan dunia makna. Ketiga subsistem
bahasa tersebut berkaitan dengan makna yang dikaji oleh semantik sedangkan
sistem abhasa yang dihubungkan dengan alam di luar bahasa disebut pragmatik.
Artinya, pragmatik berfungsi untuk menentukan serasi tidaknya sistem dengan
pemakaian bahasa dalam komunikasi (Sudaryat, 2009:2).
Pragmatik dan semantik sama-sama
menggunakan makna sebagai isi komunikasi. Semantik berpusat pada pikiran sedangkan
pragmatik berpusat pada ujaran (Sudaryat, 2009:120). Artinya, makna pada
semantik melibatkan pikiran yang mendasarinya untuk menelaah
proposisi-proposisi hubungan unsur bahasa dengan objeknya sedangkan makna yang
dimunculkan oleh pragmatik berpusat pada ujaran yang diucapkan si penutur yang
dihubungkan dengan hubungan unsur bahasa dengan para pemakainya atau tindak
linguistik beserta konteks situasinya.
Pragmatik berpusat pada wacana (teks)
sebagai proses penggunaan bahasa secara efektif dan wajar untuk berkomunikasi
dalam situasi tertentu (Nababan dalam Sudaryat, 2009:120). Menurut Mey (dalam
Rahardi, 2005:49).pragmatik adalah ilimu bahasa yang mempelajari kondisis
penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks
yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Jadi, pragmatik adalah studi
ilmu bahasa yang menganalisis penggunaan bahasa secara efektif dalam
berkomunikasi yang berdasarkan pada konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi
bahasa itu sendiri.
Pengertian wacana telah banyak dikemukakan
oleh para ahli. Tarigan (1987:27) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa
terlengkap dan terbesar di atas klausa dan kalimat dan kohesi dan koherensi
yang tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang disampaikan
secara lisan atau tulisan. Namun, berbeda dengan pendapat di atas,
Kartomihardjo dalam Nismarniati (2006:6) mengemukakan bahwa satu kalimat atau
satu kata pun dapat disebut wacana.
Wacana dapat berwujud sebagai bentuk buku,
novel, atau kata yang membawa amanat yang lengkap (Utami, 2000:35). Iklan
merupakan salah satu bentuk wacana yang berupa kata-kata yang menarik terdapat
dalam media massa, baik cetak maupun elektronik (audio visual) yang memiliki
makna atau pesan. Agar makna atau pesan dapat samapai dengan baik, pembuat
iklan harus mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam berkomunikasi dengan
sasarannya, seperti 1) prinsip kejelasan, 2) prinsip kepadatan, dan 3) prinsip
kelangsungan. Sebagai tambahan, menurut Grice (dalam Rahardi, 2005:52) dalam
berkomunikasi perlu mempertimbangkan prinsip kerja sama sehingga apa yang
menjadi sasaran dapat dicapai bersama. Prinsip tersebut dapat berupa maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Sebagai ragam bisnis, bahasa iklan merupakan
salah satu bentuk pemakaian bahasa yang bertujuan untuk meyakinkan konsumen
agar tergerak untuk melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh pengiklan
(pesan). Oleh karena itu, bahasa iklan harus dibuat semenarik mungkin sehinggga
konsumen tertarik untuk mencoba atau membeli produk yang ditawarkan. Contohnya
iklan produk rokok yang berbunyi GUDANG
GARAM 16, PRIA PUNYA SELERA. Kalimat tersebut didukung juga oleh gambar
seorang pria tegap yang suka dengan olahraga yang penuh tantangan. Dari kalimat
“pria punya selera” tersebut dapat
memunculkan daya tarik, terutama di kalangan pria, bahwa apabila mereka membeli
atau mengonsumsi produk tersebut maka mereka bisa tergolong pria yang memiliki
selera yang tinggi dan suka akan tantangan yang berbahaya. Dari iklan di atas,
prinsip kepadatan telah dipenuhi oleh si pembuat iklan, namun dari prinsip
kejelasan dan kelangsungan hanya didukung oleh gambar yang ada di iklan rokok
tersebut.
Salah satu media massa yang sering
menggunakan iklan adalah media cetak yaitu koran atau surat kabar harian. Iklan
di media cetak khususnya di koran atau surat kabar harian sering menggunakan
sedikit kata-kata dan dibantu dengan gambar yang cukup banyak. Seperti yang
dinyatakan oleh Halliday dan Hasan (1992:66) bahwa secara tata bahasa teks
tertulis sangat sederhana tetapi secara leksikal sangat padat, berlainan dengan
bahasa tutur yang sopan. Dengan demikian, iklan yanga ada di harian cetak akan
lebih cenderung memunculkan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama antara
penutur (iklan) dan si mitra tutur (pembaca iklan).
Surat kabar harian yang sering memiliki
iklan adalah Harian Sumatera Ekspres. Harian sumatera ekspres dijadikan objek
penelitian karena merupakan harian terbesar yang ada di Sumatera Selatan.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti, surat kabar ini merupakan surat kabar
yang memiliki oplah tertinggi dari surat kabar yang ada di kota Palembang yaitu
73.000 eksemplar/hari dengan perincican 65% untuk kota Palembang dan 35% untuk
tingkat kabupaten. Selain itu, pemilihan iklan sebagai kajian penelitian
mengingat bahwa iklan merupakan alat pemasaran produk maupun jasa yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap orang pada saat ini
sehingga perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa maupun produk membuat
berbagai cara untuk masyarakat produknya melewati sebuah iklan. Dari berbagai
cara, terkadang sebuah perusahaan tidak memperdulikan lagi tata cara
berkomunikasi baik kepada saingan mereka maupun yang bukan saingan.
1.2
Masalah
Masalah yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
pelanggaran prinsip kerja sama yang ada dalam iklan
di surat kabar Sumatera Ekspres?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pelanggaran prinsip
kerja sama yang ada dalam iklan
di surat kabar Sumetera Ekspres.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil pengamatan ini diharapkan
dapat bermanfaat baik secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian
ini dapat memberikan atau mengunakan teori-teori. sebelumnya dalam kajian
pragmatik. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
mahasiswa sebagai bahan telaah dan analisis tentang aspek pragmatik terhadap
sebuah wacana baik secara lisan maupun secara tulisan.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pragmatik
Pragmatik menelaah hubungan tindak bahasa dengan konteks tempat, waktu,
keadaan pemakainya, dan hubungan makna dengan aneka situasi ujaran. Dapat pula
dikatakan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai kondisi-kondisi umum
penggunaan komunikasi bahasa (Sudaryat, 2009:121).
Tarigan (1990:32) menyatakan telaah
umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan
kalimat disebut dengan pragmatik. Pendapat tersebut sejalan dengan Levinson
(dalam Tarigan, 1990:33) yang mengatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai
segala aspek makna yang tidak tercakup dalam dalam teori semantik, atau dengan
kata lain; memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat
dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi
kebenaran kalimat yang diucapkan.
Menurut Rahari (2005:49) pragmatik
adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks
yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama
oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah petuturan.
Dengan demikian, pragmatik merupakan kajian dari bahasa karena ia
merupakan bagian dari performansi linguistik yang mengkaji makna tersebut
dilihat dari pertimbangan konteks yang ada pada saat itu disamping
memperhatikan semantik dan sintaksis dari sebuah bahasa.
Menurut Grice dikutip cahyono (1996:221) prinsip kerja sama dalam
berkomunikasi merupakan teori dari implikatur. Maksim-maksim dalam prinsip
kerja sama itu adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan
maksim pelaksanaan.
2.2 Prinsip Kerja Sama
Agar pesan (message) dapat samapi dengan baik pada peserta tutur,
komunikasi yang terjadi itu perlu
mempertimbangkan prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya prinsip
kerja sama Grice. Prinsip kerja sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim
yaitu 1) maksim kuantitas (maxim of quantity), 2) maksim kualitas (maxim of
quality), 3) maksim relevansi (maxim of relevance), dan 4) maksim pelaksanaan
(maxim of Manner).
a. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan
informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi
sedemikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan
yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur
dapat dikatan melanggar maksim kuantitas melanggar maksim kuantitas dalam
prinsip kerja sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung
informasi yang berlebihan akan dapat melanggar maksim kuantitas.
Contoh:
1.
“Lihat itu Cris Jhon mau bertanding lagi.”
2.
“Lihat itu Cris Jhon yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding
lagi.”
Informasi indeksial:
Tuturan 1 dan 2 dituturkan oleh
seorang pengagum Cris Jhon kepada rekannya yang juga mengagumi petinju
legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat
salah satu acara tinju di televisi.
Tuturan
1 merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya karena
tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas si mitra
tutur. Penambahan informasi pada tuturan 2 justru menyebabkan tuturan menjadi
lebih panjang dan berlebihan. Sesuai dengan garis kamsim, tuturan 2 di atas
tidak mendukung atau bahkan melanggar prinsip kerja sama Grice (Rahardi,
2005:53-54).
b. Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat
menyampaikan sesuatu yang nyata sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur.
Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan 1
dan tuturan 2 pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelaskan
pernyataan ini.
1.
“Silahkan mencontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
2.
“Jangan mencontek, nilainya bisa E nanti!”
informasi Indeksial:
Tuturan 1 dan tuturan 2 dituturkan
oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa
yang sedang berusaha melakukan penyontekannya.
Tuturan
2 jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra
tutur. Tuturan 1 dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan
sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan
seseorang. Akan menjadi suatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan
terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para mahasiswanya melakukan
penyontekan pada saat ujian berlangsung (Rahardi, 2005:55).
c. Maksim Relevansi (The Maxin oh Relevance)
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang
baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan
kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur
dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan
melanggar prinsip kerja sama.
Contoh:
Sang Hyang tunggal : “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku
ini
dalam hati!”
Semar
: “Hamba bersedia, ya dewa.”
Informasi indeksial:
Tuturan ini dituturkan oleh Sang
Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam sebuah adegan perwayangan.
Contoh
di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan
demikian karena apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang disampaikan
oleh Semar adalah : Hamba bersedia ya Dewa,” benar-benar merupakan tanggapan
atas perintah Sang hayang Tunggal yang dituturkan sebelumnnya yakni “Namun,
sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati.” Dengan perkataan
lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam prinsip kerja sama Grice.
Perhatikan tuturan berikut ini
antara seorang kepala sekolah dengan guru pada contoh berikut ini.
Kepala Sekolah :
“Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda
Tangani dulu!”
Guru : “Maaf Bu, Kasihan sekali
nenek itu.”
Informasi indeksial:
Dituturkan oleh seorang kepala
sekolah kepada guru pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja
kepala sekolah. Pada saat itu itu ada seorang nenek tua yang sudah menunggu
lama.
Dalam
cuplikan tersebut tampak dengan jelas bahwa tuturan sang guru, yakni “Maaf Bu,
kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki relevansi dengan apa yang
diperintahkan sang direktur, yakni “ bawa sini semua berkasnya akan saya tanda
tangani!” Dengan demikian tuturan tersebut sebagai salah satu bukti bahwa
maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan
dipatuhi dalam penuturan sesungguhnya, (Rahardi, 2005:57).
d. Maksim Pelaksanaan (The Maxim of Manner)
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan
peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang
bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar
prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.
Contoh:
A : “Ayo
cepat dibuka!”
B : “Sebentar dulu, masih dingin.”
Tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar
kejelasan yang rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat
tinggi. Tuturan A “Ayo. Cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan
tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam
tuturan tersebut mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan sangat tinggi. Oleh
karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Demikian pula tuturan yang
disampaikan oleh penutur B yakni :Sebentar dulu, masih dingin” mengandung kadar ketaksaan
cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak
kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa
sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan seperti itu dapat dikatakan
pelanggaran prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam
prinsip kerja sama Grice (Rahardi, 2005:57).
2.3 Iklan
Wright (dalam Liliweri, 1992:20)
mengatakan bahwa iklan adalah suatu proses komunikasi yang memiliki kekuatan
yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang,
memberikan layanan serta gagasan atau ide melalui saluran tertentu dalam bentuk
informasi yang persuasif. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (2005:34) iklan
adalah berita pesanan untuk mendorong, membuat khalayak ramai agar tertarik pada
barang dan jasa yang ditawarkan, dipasang di media massa (seperti surat kabar
atau majalah) atau di tempat umum. Jadi, iklan adalah suatu bentuk komunikasi
yang berupa penawaran barang atau jasa yang ditawarkan kepada khalayak dan
dipasang di media massa (seperti surat kabar atau majalah) atau di tempat umum dalam bentuk
informasi yang persuasif.
2.4 Jenis Iklan
Menurut Brovee (dikutip Liliweri,
1992:36) pembagian iklan berdasarkan khalayak sasaran psikografis adalah:
- Iklan untuk Konsumen
Adalah iklan yang secara khusus
disebarluaskan melalui media massa
tertentu untuk para pemakai suatu produk baik barang maupun jasa.
- Iklan untuk Bisnis
Adalah ikan yang diarahkan khusus
kepada mereka yang mempunyai bisnis,
usaha dagang yang berkaitan dengan produk tersebut.
Iklan ini kadang-kadang juga menggunakan media massa. Namun, para pengusaha lebih suka mengeluarkan media
melalui humas.
Contoh:
Informasi tentang produk disalurkan melalui prospek Perusahaan, bulletin, pamplet, dan pameran hasil.
2.5 Bentuk Bahasa Iklan
bentuk bahasa iklan menurut Arifin
(dalam Susianti, 2002:12) terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
- Iklan Bentuk Frasa
Iklan berbentuk frasa biasanya
dilengkapi dengan gambar barang yang
diiklankan dan dapat ditemukan pada papan reklame di pinggir jalan.
Contoh:
iklan penawaran alat telekomunikasi seperti handphone.
- Iklan Berbentuk Kalimat
Iklan yang disajikan dalam bentuk
kalimat terbagi beberapa kelompok yaitu
iklan dalam bentuk kalimat tunggal, iklan dalam bentuk kalimat majemuk setara, iklan dalam bentuk kalimat majemuk bertingkat, dan iklan dalam bentuk
kalimat majemuk campuran.
3. Metodologi Penelitian
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskrifptif.
Menurut Hariwijaya (2008:22) metode deskriptif adalah metode yang digunakan
dalam penelitian yang bertujuan untuk meneliti dan menemukan informasi
sebanyak-banyaknya dari suatu fenomena. Penelitian ini dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis variabel. Jadi, penelitian ini akan mengkaji aspek
pragmatik dari iklan yang ada di harain sumatera ekspres untuk mengetahui dan
menemukan informasi-informasi berupa pelanggaran prinsip kerja sama yang ada
dalam iklan tersebut.
3.2 Sumber Data
sumber data adalah penelitian adalah
subjek dari mana dapat diperoleh (Arikunto, 2002:107). Sumber data dalam
penelitian ini diperoleh dari iklan, misalnya iklan handphone, iklan
elektronik, iklan otomotif, dan iklan makanan, yang ada dalam harian Sumatera
Ekspres Edisi November 2011 yang terbit setiap hari.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah teknik dokumentasi dan teknik catat. Teknik dokumentasi
adalah teknik untuk mencarai data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
legger, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2002:206). Dengan demikian, teknik
dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan iklan yang ada di harian Sumatera
Ekspres edisi November 2011. Selain teknik dokumentasi, penelitian ini
menggunakan teknik catat. Teknik catat dilakukan dengan pencatatan data pada
kartu data yang selanjutnya dengan klasifikasi data (Sudaryanto, 1993:135-136).
Dalam penelitian ini teknik catat dilakukan dengan mencatat iklan-iklan yang ada
di harian Sumatera Ekspres yang memiliki unsur pelanggaran prinsip kerja sama
Grice dalam iklan tersebut.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah teknik dasar yang
terdapat dapat metode padang. Teknik dasar ini menggunakan teknik. Pilah Unsur
Penentu (PUP) dengan daya pilah pragmatik, yakni teknik membagi satuan lingual
berdasarkan konteks pragmatik (Sudaryanto, 1993-22). Teknik ini digunakan untuk
membagi satuan lingual berupa wacana iklan berdasarkan segi pragmatik berdasarkan
prinsip kerja Grice. Adapaun langkah-langkah dalam menganalisis data adalah
sebagai berikut::
1. Mengumpulkan semua iklan yang terdapat di harian Sumatera Ekspres edisi
Agustus 2011.
2. Memilih data yang berupa iklan berdasarkan khalayak sasaran yaitu iklan
untuk konsumen, misalnya iklan handphone, iklan makanan, dan iklan jasa.
3. Semua iklan dikumpulkan, kemudian tuturan tertulis dalam iklan dianalisis
dari aspek pragmatik berupa prinsip kerja sama Grice. Adapun prinsip kerja sama
Grice itu terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan
maksim pelaksanaan.
a. Sebuah data dimasukkan dalam kelompok maksim kuantitas apabila tuturan
dalam iklan tersebut telah memberikan informasi yang cukup, relatif memadai,
dan seinformatif mungkin. Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi atau
terlalu berlebih, iklan tersebut melanggar maksim kuantitas.
b. Sebuah data dimasukkan dalam kelompok maksim kualitas apabila tuturan
dalam iklan tersebut telah memberikan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan
fakta sebenarnya di dalam bertutur. Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi,
iklan tersebut melanggar maksim kualitas.
c. Sebuah data dimasukkan dalam kelompok relevansi tuturan dalam iklan
tersebut terdapat kontribusi antara penutur dan penutur. Apabila tidak memunculkan
kontribusi, iklan tersebut tidak memenuhi atau melanggar maksim relevansi.
d. Sebuah data dimasukkan dalam kelompok maksim pelaksanaan apabila tuturan
dalam iklan tersebut terdapat pengertian langsung, jelas, dan tidak kabur.
Apabila tidak meminculkan pengertian langsung, jelas, dan tidak kabur, iklan
tersebut tidak memenuhi atau melanggar maksim pelaksanaan.
4. Iklan dikelompokkan berdasaran maksim-maksim yang telah disebutkan di
atas.
5. Membuat kesimpulan.
4. Hasil Pembahasan
Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik pada peserta tutur
dalam sebuah iklan, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan
pinsip-prinsip. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya prinsip kerja sama Grice.
Prinsip kerja sama Grice ini seluruhnya meliputi empat maksim yaitu 1) maksim
kuantitas (maxim of quantity), 2) maksim kualitas (maxim of quality), 3) maksim
relevansi (maxim of relevance), dan 4) maksim pelaksanaan (maxim of manner).
a. Maksim Kuantitas
(maxim of quantity)
Di dalam maksim kuantitas, seorang
penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relative memadai, dan
seinformatif mungkin. Informasi sedemikian itu tidak boleh melebihi informasi
yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung
informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur dapat dikatakan melanggar
maksim kuantitas dalam prinsip kerja sama Grice (Rahardi, 2005:53).
Contoh 1
SOLUSI CERDAS PUNYA RUMAH
DENGAN
MUDAH
DP
BISA DICICIL
ANGSURAN
HANYA RP.40 RIBUAN/HARI
SAKO
VILLAGE harga mulai 148 juta, BANDARA PERMAI harga mulai 144 juta,
KENTEN VILLAGE harga mulai 146 juta, Palim Residance harga mulai 288 juta.
DEVELOPER:
PT SAHABAT MULIA
Dari iklan propety
(perumahan) di atas, informasi yang diperoleh adalah bahwa apabila ingin
membeli rumah dilokasi yang telah ditentukan. Informasi oleh si penutur
merupakan informasi yang ridak melebihi informasi yang dibutuhkan oleh mitra
tutur. Berbeda dengan iklan berikut ini.
Contoh 2
SAKO 2 GARDEN
HUNIAN
MODERN ASRI DAN ALAMI
Desain
rumah modern
Berada
di kawasan yang sudah ramai
Lokasi
strategis, mudah dijangkau
Developer:
PT GRIYA SENTAUSA JAYA
Dari wacana iklan property di atas, si penutur tidak memberikan informasi
penting atau pokok dari perumahan yang ditawarkan misalnya harga dan cara
pembayarannya kepada di mitra tutur (pembaca). Si penutur hanya memberikan
informasi yang tidak terlalu penting bagi si mitra tutur misalnya desain rumah,
penataan areal, dan sebagainya. Dengan demikian, pada contoh 1 telah memenuhi
maksim kuantitas (maxim of quantity)
karena informasinya cukup, relatif memadai, dan informatif. Namun, contoh iklan
2 merupakan contoh iklan yang melanggar maksim kuantitas karena informasinya
yang diberikan si mitra tutur tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh
diperlukan oleh mitra tutur (konsumen property).
b. Maksim Kualitas
(Maxim of Quality)
Maksim kualitas
merupakan maksim yang dimunculkan oleh peserta tutur dengan harapan bahwa si
petutur menyampaikan sesuatu yang nyata sesuai dengan fakta yang sebenarnya di
dalam bertutur (Rahardi, 2005:55).
Contoh 3
PT DAYA CIPTA SARANA
Main
Dealer Mobil Suzuki Wilayah Sum-Sel dan Bengkulu
Motot
Paling Irit se-Indonesia
1 liter = 75 km
Sumber:
Lomba Irit Wartawan tanggal 11 Mei 2011 di Jogjakarta
Motor
Smash tetand
5000
km NONSTOP
Uji
Ketahuan 15-17 Mei 2010
Sirkuit
Sentul
Telah
tercata dalam rekor MURI 2011
Berdasarkan wacana iklan
di atas, penutur memberikan banyak fakta untuk mendukung atau menyatakan
tentang iritnya motor suzuki Smash tetand. Fakta-fakta itu didukung oleh
berbagai sumber yaitu sepeda motor ini pernah mengikuti lomba irit wartawan
tanggal 11 Mei
2011 di Yogyakarta, pernah mengikuti kegiatan Motor Paling Kuat
se-Indonesia Smash Tetand suzuki Jelajah negeri 2011, Suzuki Smash Tetand 5000 km nonstop Uji ketahanan
15-17 Mei 2010 di Sirkuit sentul, dan telah tercatat di dalam rekor MURI 2010.
berbeda dengan contoh iklan berikut ini.
Contoh 4
MITSHUBISHI MOTORS
MITSUBISHI
COLTT120SS
SI
TANGGUH UNTUK BISNIS JURAGAN
Bandel,
Irit, dan Kuat Ngangkut Banyak
Dengan
ban Radial dan dilengkapi CD/Mp3 Player
Bandel
dan irit, Tangguh dan nggak rewel, dan banyak muatannya
Berdasarkan wacana iklan
di atas, terdapat ujaran “bandel, irit, dan kuat ngangkut banyak”, Namun,
ujaran tersebut tidak dibuktikan dengan fakta-fakta misalnya mengapa mobil ini
bisa irit, mengapa mobil ini muatannya banyak, dan mengapa dikatakan bandel.
Berdasarkan dua contoh iklan tersebut, maksim kualitas terpenuhi dalam wacana
iklan pada contoh 3 karena setiap ujaran dibuktikan dengan fakta-fakta,
sedangkan contoh 4 merupakan pelanggaran pada maksim kualitas karena informasi
yang disampaikan oleh penutur tidak disertakan dengan fakta.
c. Maksim Relevansi
(Maxim of Relevance)
di dalam maksim
relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur
dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang
relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak
memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip
kerja sama (Rahardi, 2005:56).
Contoh 5
CSL Blueberry
“Pilih
yang saya pilih” Agnes Monica
Harga
Rp. 499 ribu
Berdasarkan wacana iklan
di atas, relevansi tidak muncul dari tuturan tersebut. Ketika ada tuturan “CSL
Blueberry” tuturan berikutnya adalah “pilih yang saya pilih, Agnes Monica”.
Dengan kata lain “pilihlah yang saya pilih”, Agnes Monica tidak memiliki
relevansi dengan ujaran sebelumnya yaitu “CSL Blueberry. Dengan demikian
tuturan tersebut sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip
kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan dalam
iklan.
Contoh 6
Anak-anak dan bahasa Inggris
Adalah
investasi yang tak ternilai
...
hanya jika Anda memilih
Kursus
bahasa Inggris yang tepat bagi mereka
Junior
English
for Elementary School Students, aged 6 ti 13
Namun, pada iklan di
atas maksim relevansi muncul. Dalam konteks iklan tersebut, penutur
memeberitahukan kepada si mitra tutur bahwa anak-anak dan bahasa Inggris adalah
sebuah investasi dan sebagai jawabannya anak-anak dapat dicarikan tempat bahasa
Inggris yang tepat sehingga nilai anak sebagai investasi berhasil. Dengan kata
lain tuturan yang ada di dalam iklan di atas patuh dengan maksim relevansi
dalam prinsip kerja sama Grice.
d. Maksim
Pelaksanaan (Maxim of Manner)
maksim pelaksanaan ini
mengharuskan peserta petuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak
kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan
melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan
(Rahardi, 2005:57).
Contoh 7
Internetan sepuasnya!!!
Mulai dari Rp.195 ribu/bulan
Siapapun anda, tersedia paket internet sesuai kebutuhan
Anda.
Dari wawancara iklan di
atas, tuturan yang ada memiliki kadar kejelasan yang sangat rendah. Dalam
tuturan yang berbunyi “mulai dari Rp.195 ribu/bulan” mengandung kekaburan yang
cukup dingin. Tuturan tersebut mendatangkan banyak kemungkinan persepsi
penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa maksud dari mulai dari
195 ribu per bulan, apakah biaya beban dalam berinternet, apakah biaya
pemasangannya, dan sebagainya.
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Apabila dikaitkan dengan
prinsip kerja sama Grice, maka iklan yang ada di harian Simatera Ekspres
mengandung unsur maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan
maksim pelaksanaan. Semua maksim itu hadir, namun, yang paling dominan dalam
setipa iklan tersebut adalah maksim kuantitas dan maksim kualitas. Namun, tidak
menutup kemungkinan ada juga beberapa iklan yang melanggar maksim kerja sama
Grice yaitu pada maksim kualitas contohnya pada iklan property.
3.2 Saran
Pengkajian dalam
pengamatan ini hanya kajian aspek pragmatik yang sangat kecil yaitu hanya pada
pelanggaran prinsip kerja sama Grice. Perlu pengkajian lebih dalam lagi
mengenai unsur tersebut dengan mengaitkan dengan koherensi wacana iklan itu
sendiri. Proses penafsiran maknanya harus melalui proses inferensi,
interpretasi lokal, analogi, dan konteks. Selain itu, bisa juga dikaitkan
dengan prinsip kesantunan Robin Lakoff.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar