Sabtu, 24 Maret 2012

Memory Sepasang Cincin


Memori Sepasang Cincin


Airmata takan sangup menjadi bukti betapa terlukanya hati ini
Jika saja semuanya dapat ku hentikan, mungkin cinta takan sangup merobek isi hatiku
Untuk kesekian kalinya cinta menghancurkan impian dan harapan
Dan haruskah aku diam saja menikmati segala yang trjadi?
Terasa sulit tersenyum menerima kenyataan
Yang tak pernah henti menghempaskan diri pada jurang keperihan
Tapi mungkin akan lebih sulit jika aku terus-menerus berperang melawan takdir
Memaksaku untuk mengibarkan bendera kekalahan…….
Kalah pada ketakutan diri yang membutuhkan kasih sayang.
Hingga dirimu dan sejuta perhatian berusaha menyihirku
Kau lukis kententraman dalam sepenggal ketakutan yang masih tersisa
Kau sentuh luka yang teramat perih….kau balut dengan ketulusan
Memeluk erat tubuh yang bertahun-tahun merindukan pelukan
Kau dekap aku dalam kehangatan yang paling amat ku inginkan
Kau membuatku terjatuh pada pengharapan untuk memilikimu

Dan kini…………………………
Sepasang cincin tlah terukir nama kita berdua hanya menjadi saksi
Melingkar indah  tanpa harus memiliki
Karena dunia dan seisinya tak pernah meresrtui kita untuk bersatu seutuhnya.
Terhimpit pada beragam persoalan yang akhirnya membuatku lelah
Seperti kau yang lelah membalas sejuta pengaduanku lewat sebait pesan
Sepasang cincin ini hanya menjadi kenangan
Sudahlah lupakanlah….,,,,,,,biar semua menguap ke langit
Bersama sisa-sisa tangis dan doa-doa tersendat
Lupakanlah.........lihat rapi dalam batin yang perih
Sebab langit telah menggisik-ngisikan matanya
Berdarah karena duka pertikaian hati
Mari kita mengubah arah
Karena  Impian nyatanya lebih tajam dari tepi-tepi ilalang
Dan kita sama-sama tersayat pada goresan-goresan luka.
dan meninggalkan luka dan air mata yang tlah mengering.
kenangan sepasang cincin kita…aku mencintaimu selalu..dan akan terus mencintaimu.
                                              (Sweet Memore)

Hubungan Berpikir, Berbahasa, Berbudaya


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
            Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak.
            Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek. Meskipun objek itu Tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal Symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa.
            Dalam satu pernyataan yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono. 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan berpikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Saphir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dan bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
            Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikologi kognitif, filosof dan ahli linguistik. Para ilmuwan menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dari aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain. Reasoning about other minds).
        
1.2 Rumusan Masalah
            Masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah hubungan berpikir, berbahasa, dan berbudaya.

1.3 Tujuan
            Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui hubungan berpikir, berbahasa, dan berbudaya.














BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Berpikir

            Berpikir yang paling umum dari berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses
Penjanlinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian. “Berpikir” mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir saat memutuskan barang apa yang akan kita beli di toko. Kita berpikir saat mencoba memecahkan ujian yang diberikan di kelas. Kita berpikir saat enulis artikel, menulis makalah, menulis surat, membaca buku, membaca koran, merencanakan liburan, atau mengkhawatirkan suatu persahabatan yang ternganggu.
            Berpikir adalah suatu kegitan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan dari pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek tersebut.
            Berpikir juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip yang ada, menimbang dan memutuskan.
            Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif, secara lebih, formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang tersimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117).
            Biasanya kegitan berpikir dimulai ketika muncul keraguan dan pertanyaan untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan. Kegiatan berpikir juga dirangsang oleh kekaguman dan keheranan dengan apa yang terjadi atau dialami. Dengan demikian, kegiatan berpikir manusia selalu tersituasikan dalam kondisi konkret subyek yang bersangkutan. Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh struktur bahasa yang dipakai serta konteks sosio-budaya dan historis tempat kegiatan berpikir dilakukan (Sudarminta, 2000).

2.2 Pengertian Bahasa
Pengertian Bahasa Indonesia Oleh Para Ilmuan Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang  dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.  Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem.
 Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12). Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.

2.3 Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
 Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.4 Hubungan Bahasa dan Budaya
Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
  1. bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
  2. bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia.
Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.

2.5 Hubungan Bahasa dan Berpikir
            Alat komunikasi manusia yang   paling utama adalah bahasa selain alat ucap yang baik, untuk dapat berbahasa atau berkomunikasi diperlukan pikiran dan ingatan yang baik pula sebab faktor inilah yang memungkinkan terjadinya kegiatan berbahasa dengan lancar. Pikiran berperan penting tidak hanya menyimak , membaca, maupun dalam proses pengujaran. Dalam penyimakan, pikiran menangkap dan menahan untaian fonologis ucapan dari lawan bicara untuk dapat dijadikan pesan yang bermakna. Dalam membaca, pikiran menangkap dan menahan informasi yang dibaca dalam bentuk untaian kata, frase, klausa, kalimat, paragraf sampai wacana atau teks.

 Menerima,menyimpan,memproses isi
 pesan/ide (produksi)
 Mediator primer pembawa pesan/ide     
 (komunikasi)
 Penerima pesan


Gambar di atas jelas terlihat bahwa bahasa bukan saja merupakan bentuk dari isi penuturan tetapi juga merupakan alat atau instrumen dari proses berpikir. Baik buruk hasil suatu pemikiran tergantung dari baik buruk tekbik yang digunakan. Bahasa bukan hanya merupakan alat mati dari pikiran, tapi dari logika, bahasa mempunyai peranan-peranan lain di bidang kehidupan manusia. Misalnya, bahasa sebagai alat logika dan bahasa sebagai alat kesusstraan.
            Otak manusia sebagai alat berpikir, selalu menanggapi bermacam-macam informasi melalui bahasa yang diterimanya melalui indra pendengar, atau indra penglihatan, kemudian diproses dalam pikiran. Selanjutnya pikiran membagi informasi tadi melalui kelompok-kelompok guna penyimpanan (stroge) dalam ingatan dan menemukannya kembali (recieve) dengan mudah. Hal ini disebut kategorisasi.
            Bahasa adalah data pemikiran. Bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi dengan orang lain tetapi bahasa juga digunakan untuk berpikir itu sendiri.
Contoh:
  1. kata disimpan dalam pikiran dan tidak disimpan dalam bentuk ejaan, tetapi sebagai bunyi lafal, dengan mendengar kata benda, orang akan membayangkan berbagai wujud benda sebagai kelas kata benda.
  2. pikiran dapat menjelaskan kata benda yang abstrak, pengetahuan
  3. dulu orang berpendapat bahwa sesuatu yang konkret menghambat cara berpikir abstrak. Pendapat itu kini terbalik, sesuatu yang konkret membantu pemikiran abstrak. Itulah sebabnya dalam buku ajar kimia dan fisika masa kini, banyaknya gambar dan tulisan bersaing. Satu gambar sama dengan seribu kata. Gambar jenaka lebih lama diingat dalam pikiran daripada tulisan yang panjang.
  4. fungsi otak kiri dan otak kanan manusia berbeda. Logika, matematika, lanjar, bahasa, runtun, analisa, berada pada otak sebelah kiri, irama, kreatifitas, imajinasi, ruang, warna, keseutuhan, berada pada otak sebelah kanan.
  5. banyak orang jenius memanfaatkan kedua belahan otak mereka, kiri dan kanan, mereka menuangkan dalam gambar atau berimajinasi dengan imaj/citra.
  6. bahasa yang tertib sangat diperlukan dalam penerjemahan dalam komputer, bahasa yang tertib diperlukan dalam berpikir dan mengungkapkan pikiran dengan cermat.
    
            Beberapa ahli mencoba memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bahasa mempengaruhi pikiran. Beberapa ahli tersebut antara lain Von Humboldt, Edwar Saphir, Benyamin Whorf, dan rnst Cassier. Dari keempat tokoh tersebut hanya Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti.
            Sapir dan Whorf mengatakan bahwa ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk mempertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
  1. Hipotesis pertama adalah lingustic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
  2. Hipotesis kedua adalah lingustic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur  yang sudah ada dalam bahasa.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi
dan melalui aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Bahasa bagi whorf pemandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuwan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda.

2.6 Hubungan Berpikir, Berbahasa, dan Berbudaya
            Pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya sistem bahasa dan adanya sistem universal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Struktur bahasa menentukan struktur pikiran. Struktur pikiran dibentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Menurut Sapir-Whorf, yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, kebudayaan adalah milik suatu masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota masyarakat yang memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda.  
            Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.
Bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses
Penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian.
Bahasa, pikiran, dan budaya memiliki  keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal).  Pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya (hipotesis Sapir-Worf).    













BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan
            Dari uraian bab pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pikiran, bahasa dan budaya memiliki keterkaitan yang yang saling mempengaruhi.
Bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Budaya adalah  suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses
Penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian.
Bahasa, pikiran, dan budaya memiliki  keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal).  Pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya (hipotesis Sapir-Worf).   

3.2 Saran
            Dari pemaparan makalah ini diharapkan apa yang telah penulis sampaikan dapat menambah pengetahuan serta memberi manfaat dalam pembelajaran bagi mahasiswa dan teman-teman semua.




























DAFTAR PUSTAKA

Bloomfield, Leonard. 1995. Language. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, Gillian dan George Yule (dindonesiakan oleh Soetikno).1996.  
            Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
——–.2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka   
          Cipta.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA
          dan Pustaka Pelajar.
Suryadi. 2009. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya. Universitas
          Sumatera Utara (makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III,   
          diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April
          2009).







Etika sebagai landasan profesional guru

BAB I
PENDAHULUAN


I.1   Latar Belakang
Peran guru sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan peserta didik. Karena itu, di pundak guru terdapat tanggung jawab yang melekat secara terus menerus sampai akhir hayat. Tugas dan tanggung jawab guru tersebut ternyata tidak mudah, karena harus melalui proses yang panjang, penuh dengan persyaratan dan berbagai tuntutan.
Sebuah ungkapan tentang “guru tanpa tanda jasa” dan “guru di gugu dan ditiru” telah melekat pada kehidupan guru. Identitas klasik ini intinya adalah membawa konsekuensi terhadap sepak terjangnya dalam kehidupan bermasyarakat. (1) Sedemikian besar kepercayaan masyarakat terhadap guru akhirnya mendorong mereka supaya menyadari eksistensinya. Namun akhir-akhir ini seringkali muncul tuntutan dari masyarakat terhadap guru yang menyoroti kapabilitasnya sebagai guru.
Sosok guru menjadi sesuatu yang tidak “sakral” seperti yang terkandung dalam ungkapan di atas. Hal ini karena keberadaan guru sebagai penjual jasa sebagaian ada yang tidak layak masuk kategori sebagai tenaga pendidik. Menjadi guru memerlukan upaya dari “dalam diri” yang mampu memenuhi kualitas sebagai pendidik.  
Jabatan guru memiliki banyak tugas baik di dalam maupun di luar sekolah. Bahkan tugas itu tidak hanya sebagai profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan profesionalitasnya meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Konsekuensi logis dari tugas tersebut adalah guru harus mempunyai banyak peran di antaranya; sebagai korektor, inspirator, informator, fasilitator, pembimbing, mediator, supervisor dan sebagainya.
Menyadari peran tersebut, maka pertumbuhan pribadi (personal growth) maupun pertumbuhan profesi (professional growth) guru harus terus menerus mengembangkan serta mengikuti atau membaca informasi yang baru, dan mengembangkan ide-ide yang kreatif. (2) Hal ini dimaksudkan agar eksistensi guru tidak ketinggalan zaman. Dengan selalu memperhatikan setiap perubahan informasi, guru memperoleh bekal baru yang dapat menjadi semangat dan motivasi untuk menciptakan situasi proses belajar mengajar yang lebih menyenangkan bagi siswa.      
Dalam pandangan Langeveld (1950), seperti yang dikutip Piet A. Sahertian, (3) guru adalah penceramah zaman. Landasan dari profesi guru seharusnya punya visi masa depan. Ketajaman visi mendorong para guru untuk mampu mengembangkan visinya. Untuk mewujudkan visi tersebut, guru harus belajar terus menerus menjadi guru yang profesional. Guru yang profesional memiliki kualifikasi sebagai berikut; a) Memiliki keahlian (expert) dalam bidang yang diajarkan. b) Memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi, dan c) Memiliki rasa kesejawatan dan kode etik serta memandang tugasnya sebagai karier hidup.
           
1.2 Rumusan Masalah
         Berdasarkan dari latar belakang, maka masalah dalam makalah ini adalah ”mengapa etika dijadikan landasan keprofesionalan guru.”?

1.3 Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah, maka  tujuan penulisan makalah ini adalah  ”untuk mengetahui alasan mengapa etika dijadikan landasan keprofessional guru.”












BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Pengertian Etika
            Etika berasal dari kata ethos (bahasa yunani), yakni bentuk jamaknya taetha, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam artian etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorangpun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Etika berkaitan dengannilai-nilai tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau daru satu generasi ke generasi yang lain.
Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan. Sebagai suatu subjek etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, baik atau buruk, secara harfiah etika dan moralitas memiliki arti yang sama yakni sama-sama mengenai system nilai tentang bagaimana manusia harus hidup, baik sebagai manusia yang telah di institusionalisasikan dalam sebuah adat istiadat yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang baik dan dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan. Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our controlsystem”. Artinya etika akan memberikan batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dimana dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan soal pergaulan manusia, etika ini diwujudkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdaarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan  sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) di nilai menyimpang dari kode etik.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari “self control” karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok social (profesi) itu sendiri.
            Menurut Suseno (1987) etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita harus mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran. Adapun defenisi etika menurut Kattsoff 1986, etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan yang berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.

2.2 Etika Sebagai Landasan Keprofesionalan Guru
            Kemajuan suatu Negara, khususnya di Negara indonesia mengalami persoalan yang sangat kursial dan multidimensional dan hampir semua bidang kehidupan bangsa bernegara dan bermasyarakat mengalami krisis yang berkepanjangan. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa kita disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Kualitas SDM Yang rendah, baik secara akademis maupun nonakademis, menyebabkan belum seluruh masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi menyumbangkan potensinya baik potensi fisik maupun nonfisik dalam pelaksanaan pembangunan sesuai dengan keahlian dan bidangnya masing-masing.
            Salah satu peningkatan sumber daya manusia dapat diwujudkan melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian kehidupan manusia, karena pendidikan telah menjadi suatu kebutuhan untuk mendukung keberhasilan manusia. Prinsip dasar pendidikan adalah sebagai upaya untuk memanusiakan manusia serta meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik secara pribadi maupun sebagai model dasar pembangunan bangsa.
Terdapat beberapa hal yang perlu ditanggapi dari konsep pendidikan menurut undang-undang tersebut.
1.  Pendidikan adalah suatu usaha sadar yang terencana, hal ini berarti  
    proses pendidikan di sekolah bukanlah proses yang dilaksanakan asal-          
    asalan dan untung-untungan, akan tetapi proses yang bertujuan
    sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan  
    pada pencapaian tujuan.
2.  Proses pendidikan yang terencana diarahkan untuk mewujutkan
    suasana belajar dan proses pembelajaran. Hal ini berarti pendidikan
    tidak boleh mengesampingkan proses dan hasil belajar. Akan tetapi
    bagaimana memperoleh hasil atau proses belajar yang terjadi pada diri
    siswa. Dengan demikian, dalam pendidikan antara proses dan hasil
    harus berjalan secara seimbang.
3. Suasana belajar dan pembelajaran itu diarahkan agar peserta didik
    dapat mengembangkan potensi dirinya, ini berarti proses pendidikan itu
    harus berorientasi kepada siswa (student active learning).
4.  Akhir dari proses pendidikan adalah kemampuan siswa memiliki
    kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, membentuk
    kepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki
    keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa, dan
    negara.
Hal ini berarti proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan ketrampilan siswa. Ketiga aspek inilah (sikap, kecerdasan, dan ketrampilan) arah dan tujuan pendidikan yang harus diupayakan. Akan tetapi pendidikan tidak dapat diwujudkan jika pelopor pendidikan khususnya tim pengajar (guru) tidak bisa mengembangkan tugasnya sebagaimana mestinya. Yang dibutuhkan dalam era pembangunan melalui pendidikan ini adalah seorang guru yang professional.
  Professional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi, dimana yang tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menurut Surya (2005), guru yang professional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Guru yang professional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat,  bangsa, Negara dan agamanya. Guru professional adalah guru yang mengenal tentang dirinya, yaitu dirinya yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk atau dalam belajar. Guru professional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual.
Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirnya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektik. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Dan tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai mahkluk  beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan moral.
Selain itu guru yang professional harus memiliki kompetensi, dimana kompetensi merupakan kemampuan guru, khususnya dalam mengajar.Terdapat jenis keterampilan yang menjadi syarat kompetensi guru, antara lain:
1. Mampu berperan sebagai organisator proses pembelajaran, artinya
    mampu  menyusun bahan pelajaran atas dasar pendekatan structural,
    interdisipliner,  fungsional, perilaku dan teknologi.
2. Mampu memecahkan dan melaksanakan tehnik-tehnik mengajar yang
    baik   dalam mencapai tujuan pendidikan.
3. Mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan.
4. Mampu memahami dan melaksanakan kegiatan dan pendidikan luar  
    sekolah.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi sosial ,kompetensi  pedagogic dan kompetensi professional. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan persona guru  yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawah serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berahklak mulia.
 Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali, peserta didik dan masyarakat sekitar. Kompetensi merupakan kemampuan atau pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi professional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuan.
Etika dijadikan landasan professional guru, karena etika dapat mengatur perilaku mereka dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengajar, selain itu etika dapat mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sosialnya.


2.3  Guru Harus Profesional Dalam Mengajar
            Kompetensi profesional yang dimiliki oleh seorang guru pada dasarnya mempunyai tujuan yakni bagaimana membuat siswa merasa nyaman dan dapat memotivasi siswa dalam belajar, sehingga proses belajar dapat berjalan dengan lancar dan berhasil sesuai yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan prestasi siswa. Guru harus professional karena tugas guru bukan hanya mengajar semata, akan tetapi guru juga berperan untuk mendidik dan melatih.
Mendidik artinya memberikan pengetahuan kepada peserta didik yang berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai dalam masyarakat. Dan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Selain itu keprofesionalan guru diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan-tantangan yang ada dalam dunia pendidikan.  
Ciri guru yang profesional dikutip dalam Jurnal Education Leadership (1998) :
  1. Mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
  2. Menguasai secara mendalam bahan pelajaran yang diajarkan serta metode pelajaran yang relevan.
  3. Bertanggungjawab dalam memantau hasil belajar melalui berbagai cara evaluasi.
  4. mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukan dan belajar dari pengalamannya.
  5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Dengan demikian bila hal ini sudah dilakukan maka secara otomatis, tingkat keprofesionalan guru dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pengajar akan semakin meningkat.


















BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Etika dijadikan landasan professional guru, karena etika dapat mengatur perilaku mereka dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengajar, selain itu etika dapat mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sosialnya.
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan demi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan guru menjadi wacana yang sangat penting.
          Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh atitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang memperrsyaratkan Willingness dan ability, baik secara intelektual maupunn pada kondisi yang prima. Usaha meningkatkan prefesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK  sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarkat.
Selain itu, diharapkan bagi yang berprofesi sebagai tim pengajar sekiranya dapat mengembangkan keprofesionalannya guna pembangunan bangsa melalui pendidikan ini.

3.2 Saran
            Adapun saran yang dapat disampaikan oleh penulis melalui makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1. Kepada mahasiswa dan para pembaca agar dapat mempergunakan
    makalah ini sebagaimana mestinya.
2. Kepada pembaca, khususnya bagi yang berprofesi sebagai tim
    pengajar sekiranya setelah membaca makalah ini agar dapat  
    mengembangkan keprofesionalannya guna pembangunan bangsa   
    melalui pendidikan.















Dafatr Pustaka

Koehn, Daryl. 2000. Landasan Etiika Profesi.Yogyakarta : Kanisius.

Kunanadar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers.

http//:  WWW. Google. Com.

Soetjipto dan Raflis Kosasi. 2009. Profesi Keguruan. Jakarta : Rineka
            Cipta.