Bahasa
adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam
lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan
peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media
manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual
ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak.
Dengan adanya transformasi ini maka
manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek. Meskipun objek itu Tidak terinderakan
saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier
menyebut manusia sebagai animal Symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol.
Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, keunikan manusia sebenarnya
bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada
kemampuannya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan
apa-apa tanpa menggunakan bahasa.
Dalam satu pernyataan yang terkenal,
secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid
van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka
(Sumaryono. 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara
bahasa dan berpikir dinyatakan oleh Whorf
dan Saphir. Whorf dan Saphir melihat
bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dan bahasa tertentu
yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental
orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka
menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan antara bahasa dan pikiran
adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah
kajian ini dapat ditilik dari psikologi kognitif, filosof dan ahli linguistik.
Para ilmuwan menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih
lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi
lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran
ruang bidang (reasoning spatial) dari aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran
terhadap pikiran lain. Reasoning about other minds).
1.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam
makalah ini adalah bagaimanakah hubungan berpikir, berbahasa, dan berbudaya.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
untuk mengetahui hubungan berpikir, berbahasa, dan berbudaya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Berpikir
Berpikir
yang paling umum dari berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski,
dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide
dan konsep ini berlangsung melalui proses
Penjanlinan
hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang
yang berupa pengertian-pengertian. “Berpikir” mencakup banyak aktivitas mental.
Kita berpikir saat memutuskan barang apa yang akan kita beli di toko. Kita
berpikir saat mencoba memecahkan ujian yang diberikan di kelas. Kita berpikir
saat enulis artikel, menulis makalah, menulis surat, membaca buku, membaca
koran, merencanakan liburan, atau mengkhawatirkan suatu persahabatan yang
ternganggu.
Berpikir adalah suatu kegitan mental
yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja
otak, pikiran manusia lebih dari sekedar organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan
berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan
dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan dari pada obyek
tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian
mempunyai wawasan tentang obyek tersebut.
Berpikir juga berarti berjerih-payah
secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar
dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga termuat kegiatan
meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi,
membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan,
menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat analisis dan
sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip yang ada, menimbang
dan memutuskan.
Secara sederhana, berpikir adalah
memproses informasi secara mental atau secara kognitif, secara lebih, formal,
berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari
lingkungan maupun simbol-simbol yang tersimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol
dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117).
Biasanya kegitan berpikir dimulai
ketika muncul keraguan dan pertanyaan untuk dijawab atau berhadapan dengan
persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan. Kegiatan berpikir juga
dirangsang oleh kekaguman dan keheranan dengan apa yang terjadi atau dialami.
Dengan demikian, kegiatan berpikir manusia selalu tersituasikan dalam kondisi
konkret subyek yang bersangkutan. Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh
struktur bahasa yang dipakai serta konteks sosio-budaya dan historis tempat
kegiatan berpikir dilakukan (Sudarminta, 2000).
2.2 Pengertian Bahasa
Pengertian Bahasa Indonesia Oleh Para Ilmuan Menurut
Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa.
Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua,
bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran)
yang bersifat arbitrer. Lain
halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu
language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and
rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai
kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan
konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi
simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh
Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah
suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua,
bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol
arbitrer.
Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
secara sadar. Definisi lain, Bahasa
adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not
matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem
dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu
tatanan dalam sistem-sistem.
Pengertian
tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12). Menurut Wibowo (2001:3), bahasa
adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh
alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat
berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Hampir
senada dengan pendapat Wibowo, Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa
ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan,
maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh
Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa
adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan
perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi.
Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang
buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi
kemanusiaan. Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah
suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.
Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh
Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat
penting dalam hidup bersama.
2.3 Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan
mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya
lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit
nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan
atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme
kasar" di Amerika,
"keselarasan individu dengan alam" di Jepangdan
"kepatuhan kolektif" di
Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali
anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan duniamakna dan nilai logisyang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan
pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan
suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang
turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut
sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.4 Hubungan Bahasa dan Budaya
Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah
alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa
sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.
Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21),
Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger
(1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat
bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III
(2005:88) disebutkan bahwa:
bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer,
yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983:
1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu,
kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan
bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini
disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada
kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga
termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat
diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka
tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan
timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah
perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah
“alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat
tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini
pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya
bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur.
Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan
“lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara
penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran
masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini
akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu
berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa
apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa
dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor,
antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain.
Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau”
misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di
negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak
cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung
menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua
sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja
tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia.
Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam
masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang
lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa
Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud
kata “mati” misal mampus,
meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan
dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass
away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan
interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini
sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa
bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk
sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan
dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang
diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai
cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa
yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung
nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat
ungkapan berbunyi Da ngaden
awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran
agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam
bahasa Jawa, rumongso biso,
nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil
kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki
ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan
Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok.
Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan
melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa
masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina
Totok dan Cina
Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan
identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga
dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan
penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang
menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal
(satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna
dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi,
terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan
bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari
kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung
terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek
tersebut.
Bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat
pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi
sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
2.5 Hubungan Bahasa dan Berpikir
Alat komunikasi manusia yangpaling utama adalah bahasa selain alat ucap
yang baik, untuk dapat berbahasa atau berkomunikasi diperlukan pikiran dan ingatan
yang baik pula sebab faktor inilah yang memungkinkan terjadinya kegiatan
berbahasa dengan lancar. Pikiran berperan penting tidak hanya menyimak ,
membaca, maupun dalam proses pengujaran. Dalam penyimakan, pikiran menangkap
dan menahan untaian fonologis ucapan dari lawan bicara untuk dapat dijadikan
pesan yang bermakna. Dalam membaca, pikiran menangkap dan menahan informasi
yang dibaca dalam bentuk untaian kata, frase, klausa, kalimat, paragraf sampai
wacana atau teks.
Menerima,menyimpan,memproses isi
pesan/ide (produksi)
Mediator primer pembawa pesan/ide
(komunikasi)
Penerima pesan
Gambar di
atas jelas terlihat bahwa bahasa bukan saja merupakan bentuk dari isi penuturan
tetapi juga merupakan alat atau instrumen dari proses berpikir. Baik buruk
hasil suatu pemikiran tergantung dari baik buruk tekbik yang digunakan. Bahasa
bukan hanya merupakan alat mati dari pikiran, tapi dari logika, bahasa
mempunyai peranan-peranan lain di bidang kehidupan manusia. Misalnya, bahasa
sebagai alat logika dan bahasa sebagai alat kesusstraan.
Otak manusia sebagai alat berpikir,
selalu menanggapi bermacam-macam informasi melalui bahasa yang diterimanya
melalui indra pendengar, atau indra penglihatan, kemudian diproses dalam
pikiran. Selanjutnya pikiran membagi informasi tadi melalui kelompok-kelompok
guna penyimpanan (stroge) dalam ingatan dan menemukannya kembali (recieve)
dengan mudah. Hal ini disebut kategorisasi.
Bahasa adalah data pemikiran. Bahasa
bukan hanya sebagai alat komunikasi dengan orang lain tetapi bahasa juga
digunakan untuk berpikir itu sendiri.
Contoh:
kata disimpan dalam pikiran dan tidak disimpan dalam
bentuk ejaan, tetapi sebagai bunyi lafal, dengan mendengar kata benda,
orang akan membayangkan berbagai wujud benda sebagai kelas kata benda.
pikiran dapat menjelaskan kata benda yang abstrak,
pengetahuan
dulu orang berpendapat bahwa sesuatu yang konkret
menghambat cara berpikir abstrak. Pendapat itu kini terbalik, sesuatu yang
konkret membantu pemikiran abstrak. Itulah sebabnya dalam buku ajar kimia
dan fisika masa kini, banyaknya gambar dan tulisan bersaing. Satu gambar
sama dengan seribu kata. Gambar jenaka lebih lama diingat dalam pikiran
daripada tulisan yang panjang.
fungsi otak kiri dan otak kanan manusia berbeda.
Logika, matematika, lanjar, bahasa, runtun, analisa, berada pada otak
sebelah kiri, irama, kreatifitas, imajinasi, ruang, warna, keseutuhan,
berada pada otak sebelah kanan.
banyak orang jenius memanfaatkan kedua belahan otak
mereka, kiri dan kanan, mereka menuangkan dalam gambar atau berimajinasi
dengan imaj/citra.
bahasa yang tertib sangat diperlukan dalam
penerjemahan dalam komputer, bahasa yang tertib diperlukan dalam berpikir
dan mengungkapkan pikiran dengan cermat.
Beberapa
ahli mencoba memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih
disempitkan lagi, bahasa mempengaruhi pikiran. Beberapa ahli tersebut antara
lain Von Humboldt, Edwar Saphir, Benyamin Whorf, dan rnst Cassier. Dari keempat
tokoh tersebut hanya Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh
berbagai peneliti.
Sapir dan Whorf mengatakan bahwa ada
dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk mempertimbangkan sebagai realitas
sosial yang sama. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai
keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
Hipotesis pertama adalah lingustic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa
perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif
non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan
perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
Hipotesis kedua adalah lingustic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa
mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual.
Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan
strukturyang sudah ada dalam
bahasa.
Pengaruh
bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi
dan melalui aspek
formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Bahasa bagi whorf pemandu realitas
sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuwan sosial, bahasa
secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses
sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia
kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh
bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada
dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat
tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan
tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa
pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa
berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda.
2.6 Hubungan Berpikir, Berbahasa, dan Berbudaya
Pandangan hidup yang bermacam-macam
adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya sistem bahasa dan
adanya sistem universal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini.
Struktur bahasa menentukan struktur pikiran. Struktur pikiran dibentuk oleh
perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului
kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Menurut Sapir-Whorf,
yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan
atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, kebudayaan adalah milik suatu
masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota
masyarakat yang memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda.
Pemahaman terhadap
kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Telah dikukuhkan oleh para ahli
bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada
manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna
menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua.
Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi.
Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi
dalam dan dialami penuturnya, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut
akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.
Bahasaadalah bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua,
bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran)
yang bersifat arbitrer.
Budayaadalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan
sosial manusia.
Berpikir adalah
berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di
dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui
proses
Penjalinan
hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang
yang berupa pengertian-pengertian.
Bahasa,
pikiran, dan budaya memilikiketerkaitan
yang saling mempengaruhi (resiprokal). Pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat
ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya (hipotesis Sapir-Worf).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian
bab pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pikiran, bahasa dan budaya
memiliki keterkaitan yang yang saling mempengaruhi.
Bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua,
bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran)
yang bersifat arbitrer.
Budaya adalah suatu pola
hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar
dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Berpikiradalahberkembangnya
ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri
seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses
Penjalinan
hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang
yang berupa pengertian-pengertian.
Bahasa,
pikiran, dan budaya memilikiketerkaitan
yang saling mempengaruhi (resiprokal).Pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh
struktur bahasanya (hipotesis Sapir-Worf).
3.2 Saran
Dari
pemaparan makalah ini diharapkan apa yang telah penulis sampaikan dapat
menambah pengetahuan serta memberi manfaat dalam pembelajaran bagi mahasiswa
dan teman-teman semua.
DAFTAR PUSTAKA
Bloomfield,
Leonard. 1995. Language. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Brown, Gillian dan
George Yule (dindonesiakan oleh Soetikno).1996. Analisis Wacana. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul dan
Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: SABDA dan Pustaka Pelajar. Suryadi. 2009. Hubungan
Antara Bahasa dan Budaya. Universitas Sumatera Utara (makalah Seminar
Nasional Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh
Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009).
Peran
guru sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk mencerdaskan
kehidupan peserta didik. Karena itu, di pundak guru terdapat tanggung jawab
yang melekat secara terus menerus sampai akhir hayat. Tugas dan tanggung jawab
guru tersebut ternyata tidak mudah, karena harus melalui proses yang panjang,
penuh dengan persyaratan dan berbagai tuntutan.
Sebuah
ungkapan tentang “guru tanpa tanda jasa” dan “guru di gugu dan ditiru” telah
melekat pada kehidupan guru. Identitas klasik ini intinya adalah membawa
konsekuensi terhadap sepak terjangnya dalam kehidupan bermasyarakat. (1)
Sedemikian besar kepercayaan masyarakat terhadap guru akhirnya mendorong mereka
supaya menyadari eksistensinya. Namun akhir-akhir ini seringkali muncul
tuntutan dari masyarakat terhadap guru yang menyoroti kapabilitasnya sebagai
guru.
Sosok
guru menjadi sesuatu yang tidak “sakral” seperti yang terkandung dalam ungkapan
di atas. Hal ini karena keberadaan guru sebagai penjual jasa sebagaian ada yang
tidak layak masuk kategori sebagai tenaga pendidik. Menjadi guru memerlukan upaya
dari “dalam diri” yang mampu memenuhi kualitas sebagai pendidik.
Jabatan
guru memiliki banyak tugas baik di dalam maupun di luar sekolah. Bahkan tugas
itu tidak hanya sebagai profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan
dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan profesionalitasnya meliputi mendidik,
mengajar dan melatih. Konsekuensi logis dari tugas tersebut adalah guru harus
mempunyai banyak peran di antaranya; sebagai korektor, inspirator, informator,
fasilitator, pembimbing, mediator, supervisor dan sebagainya.
Menyadari
peran tersebut, maka pertumbuhan pribadi (personal growth) maupun pertumbuhan
profesi (professional growth) guru harus terus menerus mengembangkan serta
mengikuti atau membaca informasi yang baru, dan mengembangkan ide-ide yang
kreatif. (2) Hal ini dimaksudkan agar eksistensi guru tidak ketinggalan zaman. Dengan
selalu memperhatikan setiap perubahan informasi, guru memperoleh bekal baru
yang dapat menjadi semangat dan motivasi untuk menciptakan situasi proses
belajar mengajar yang lebih menyenangkan bagi siswa.
Dalam
pandangan Langeveld (1950), seperti yang dikutip Piet A. Sahertian, (3) guru
adalah penceramah zaman. Landasan dari profesi guru seharusnya punya visi masa
depan. Ketajaman visi mendorong para guru untuk mampu mengembangkan visinya.
Untuk mewujudkan visi tersebut, guru harus belajar terus menerus menjadi guru
yang profesional. Guru yang profesional memiliki kualifikasi sebagai berikut;
a) Memiliki keahlian (expert) dalam bidang yang diajarkan. b) Memiliki rasa tanggungjawab
yang tinggi, dan c) Memiliki rasa kesejawatan dan kode etik serta memandang
tugasnya sebagai karier hidup.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
dari latar belakang, maka masalah dalam makalah ini adalah ”mengapa etika
dijadikan landasan keprofesionalan guru.”?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
dari rumusan masalah, makatujuan
penulisan makalah ini adalah”untuk mengetahui alasan mengapa etika dijadikan
landasan keprofessional guru.”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika
Etika berasal dari kata ethos (bahasa yunani), yakni bentuk jamaknya taetha,
yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam artian etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorangpun pada suatu masyarakat
atau kelompok masyarakat. Etika berkaitan dengannilai-nilai tata cara hidup
yang baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan
diwariskan dari satu orang ke orang lain atau daru satu generasi ke generasi
yang lain.
Kebiasaan
ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah
kebiasaan. Sebagai suatu subjek etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki
oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang
telah dikerjakannya itu salah atau benar, baik atau buruk, secara harfiah etika
dan moralitas memiliki arti yang sama yakni sama-sama mengenai system nilai
tentang bagaimana manusia harus hidup, baik sebagai manusia yang telah di
institusionalisasikan dalam sebuah adat istiadat yang kemudian terwujud dalam
pola perilaku yang baik dan dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya
sebuah kebiasaan. Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Menurut Martin (1993),
etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance
index or reference for our controlsystem”. Artinya etika
akan memberikan batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia di
dalam kelompok sosialnya. Dimana dalam pengertiannya yang secara khusus
dikaitkan dengan soal pergaulan manusia, etika ini diwujudkan dalam bentuk
aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdaarkan
prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa
difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang
secara logika-rasional umum (common sense) di nilai menyimpang dari kode etik.
Dengan demikian
etika adalah refleksi dari “self control” karena segala sesuatunya dibuat dan
diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok social (profesi) itu sendiri.
Menurut Suseno (1987) etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana
dan mengapa kita harus mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana
kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai
ajaran. Adapun defenisi etika menurut Kattsoff 1986, etika lebih banyak
bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan
tingkah laku manusia, dan yang berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan
dengan tingkah laku manusia. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan
dibagi menjadi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam
berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.2 Etika
Sebagai Landasan Keprofesionalan Guru
Kemajuan suatu Negara, khususnya di Negara indonesia mengalami persoalan yang
sangat kursial dan multidimensional dan hampir semua bidang kehidupan bangsa
bernegara dan bermasyarakat mengalami krisis yang berkepanjangan. Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa kita
disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Kualitas
SDM Yang rendah, baik secara akademis maupun nonakademis, menyebabkan belum
seluruh masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi menyumbangkan potensinya baik
potensi fisik maupun nonfisik dalam pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
keahlian dan bidangnya masing-masing.
Salah satu peningkatan sumber daya manusia dapat diwujudkan melalui pendidikan,
karena pendidikan merupakan bagian kehidupan manusia, karena pendidikan telah
menjadi suatu kebutuhan untuk mendukung keberhasilan manusia. Prinsip dasar
pendidikan adalah sebagai upaya untuk memanusiakan manusia serta meningkatkan
mutu sumber daya manusia, baik secara pribadi maupun sebagai model dasar
pembangunan bangsa.
Terdapat
beberapa hal yang perlu ditanggapi dari konsep pendidikan menurut undang-undang
tersebut.
1.Pendidikan adalah suatu usaha sadar yang terencana, hal
ini berarti
proses pendidikan di sekolah bukanlah
proses yang dilaksanakan asal-
asalan dan untung-untungan, akan tetapi
proses yang bertujuan
sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru
dan siswa diarahkan
pada pencapaian tujuan.
2.Proses
pendidikan yang terencana diarahkan untuk mewujutkan
suasana belajar dan proses pembelajaran. Hal
ini berarti pendidikan
tidak boleh mengesampingkan proses dan
hasil belajar. Akan tetapi
bagaimana memperoleh hasil atau proses
belajar yang terjadi pada diri
siswa. Dengan demikian, dalam pendidikan
antara proses dan hasil
harus berjalan secara seimbang.
3.Suasana belajar dan pembelajaran itu diarahkan agar
peserta didik
dapat mengembangkan potensi dirinya, ini
berarti proses pendidikan itu
harus berorientasi kepada siswa (student
active learning).
4.Akhir
dari proses pendidikan adalah kemampuan siswa memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, membentuk
kepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak
mulia, serta memiliki
keterampilan yang diperlukan untuk dirinya,
masyarakat, bangsa, dan
negara.
Hal ini berarti
proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan
atau intelektual, serta pengembangan ketrampilan siswa. Ketiga aspek inilah
(sikap, kecerdasan, dan ketrampilan) arah dan tujuan pendidikan yang harus
diupayakan.Akan tetapi
pendidikan tidak dapat diwujudkan jika pelopor pendidikan khususnya tim
pengajar (guru) tidak bisa mengembangkan tugasnya sebagaimana mestinya. Yang
dibutuhkan dalam era pembangunan melalui pendidikan ini adalah seorang guru
yang professional.
Professional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau
kecakapan yang memenuhi standar atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi, dimana yang tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Menurut Surya (2005), guru yang professional akan tercermin dalam
pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam
materi maupun metode. Guru yang professional hendaknya mampu memikul dan
melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua,
masyarakat, bangsa, Negara dan agamanya. Guru professional adalah guru
yang mengenal tentang dirinya, yaitu dirinya yang dipanggil untuk mendampingi
peserta didik untuk atau dalam belajar. Guru professional mempunyai tanggung
jawab pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual.
Tanggung
jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirnya, mengelola dirinya,
mengendalikan dirinya dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Tanggung
jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan
interaktif yang efektik. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui
penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk menunjang tugas-tugasnya. Dan tanggung jawab spiritual dan moral
diwujudkan melalui penampilan guru sebagai mahkluk beragama yang
perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan moral.
Selain
itu guru yang professional harus memiliki kompetensi, dimana kompetensi
merupakan kemampuan guru, khususnya dalam mengajar.Terdapat jenis keterampilan
yang menjadi syarat kompetensi guru, antara lain:
1.Mampu berperan sebagai organisator proses pembelajaran,
artinya
mampumenyusun bahan pelajaran atas dasar pendekatan structural,
interdisipliner,fungsional, perilaku dan teknologi.
2.Mampu memecahkan dan melaksanakan tehnik-tehnik mengajar
yang
baikdalam mencapai tujuan pendidikan.
3.Mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan.
4.Mampu memahami dan melaksanakan kegiatan dan pendidikan
luar
sekolah.
Kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial ,kompetensi pedagogic dan kompetensi professional. Kompetensi
kepribadian merupakan kemampuan persona guru yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawah serta menjadi
teladan bagi peserta didik dan berahklak mulia.
Kompetensi
sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau
wali, peserta didik dan masyarakat sekitar. Kompetensi merupakan kemampuan atau
pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi professional merupakan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi
kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi
materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuan.
Etika
dijadikan landasan professional guru, karena etika dapat mengatur perilaku
mereka dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengajar,
selain itu etika dapat mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sosialnya.
2.3 Guru
Harus Profesional Dalam Mengajar
Kompetensi profesional yang dimiliki oleh seorang guru pada dasarnya mempunyai
tujuan yakni bagaimana membuat siswa merasa nyaman dan dapat memotivasi siswa
dalam belajar, sehingga proses belajar dapat berjalan dengan lancar dan
berhasil sesuai yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan prestasi siswa. Guru
harus professional karena tugas guru bukan hanya mengajar semata, akan tetapi
guru juga berperan untuk mendidik dan melatih.
Mendidik
artinya memberikan pengetahuan kepada peserta didik yang berkaitan dengan
pengembangan nilai-nilai dalam masyarakat. Dan melatih berarti mengembangkan
keterampilan-keterampilan pada siswa. Selain itu keprofesionalan guru
diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan-tantangan yang ada dalam dunia
pendidikan.
Ciri guru yang profesional
dikutip dalam Jurnal Education Leadership (1998) :
Mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
Menguasai secara mendalam bahan pelajaran yang
diajarkan serta metode pelajaran yang relevan.
Bertanggungjawab dalam memantau hasil belajar
melalui berbagai cara evaluasi.
mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukan
dan belajar dari pengalamannya.
Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya.
Dengan
demikian bila hal ini sudah dilakukan maka secara otomatis, tingkat
keprofesionalan guru dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pengajar akan
semakin meningkat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika
dijadikan landasan professional guru, karena etika dapat mengatur perilaku
mereka dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengajar,
selain itu etika dapat mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sosialnya.
Memperhatikan
peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan demi
keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan guru menjadi wacana
yang sangat penting.
Guru
yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh atitudenya yang berarti pada
tataran kematangan yang memperrsyaratkan Willingness dan ability, baik secara
intelektual maupunn pada kondisi yang prima. Usaha meningkatkan prefesionalisme
guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina
guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarkat.
Selain
itu, diharapkan bagi yang berprofesi sebagai tim pengajar sekiranya dapat
mengembangkan keprofesionalannya guna pembangunan bangsa melalui pendidikan
ini.
3.2
Saran
Adapun
saran yang dapat disampaikan oleh penulis melalui makalah ini, yaitu sebagai
berikut.
1. Kepada
mahasiswa dan para pembaca agar dapat mempergunakan
makalah ini sebagaimana mestinya.
2. Kepada
pembaca, khususnya bagi yang berprofesi sebagai tim
pengajar sekiranya setelah membaca makalah
ini agar dapat
mengembangkan keprofesionalannya guna
pembangunan bangsa